22 Februari, 2009

Resume Etika Kepemimpinan

MATA PELAJARAN : ETIKA KEPEMIMPINAN DOSEN : DERENBANG KAPOLRI I. Intisari Kuliah

  • a. Pengertian Etika adalah cabang dari ilmu filsafat, Etika sebagai ilmu menjadi sangat luas jangkauannya, karena setiap segi kehidupan manusia selalu memuat kandungan etika, dan kandungan etika itu selalu terjalin antar satu dengan yang lain secara erat karena memiliki dasar-dasar pemikiran yang pada hakekatnya adalah serupa.
  • Etika pada dasarnya menganalisa tingkah laku, moral, adat kebiasaan, cara berpikir yang akan mendorong manusia untuk bersikap dan bertindak secara etis, inilah yang menjadi alasan bagi jajaran Kepolisian untuk mengambil kebijaksanaan penggelaran kebijakan berupa pelaksanaan etika Kepolisian yang diterapkan secara melekat kepada seluruh personil Polri tanpa perkecualian.
  • Etika Kepolisian adalah pedoman perilaku Kepolisian dalam melaksanakan tugas kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari yang berisi hak, kewajiban dan harapan, apa yang harus dilakukan karena kewajiban, apa yang boleh dilakukan karena mendatangkan manfaat baik bagi Kepolisian dan apa yang tidak boleh dilakukan karena sifatnya tercela. Berkaitan dengan perubahan Polri baik instrumental, struktural dan kultural bila terjadi penyimpangan maka sikap masyarakat langsung bereaksi sebagai salah satu bentuk reaksi masyarakat adalah meminta agar ditangani secara profesional sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain etika Kepolisian adalah norma atau ukuran baik dan buruk bagi aparat penegak hukum yang bertanggung jawab pada ketertiban umum keselamatan dan keamanan masyarakat.
  • Etika Kepolisian merupakan dasar atau pedoman yang akan menopang bentuk perilaku yang ideal yang kokoh terpatri dalam diri Polri dalam mengabdi tanpa memahami dasar itu Polisi tidak mempunyai pendirian dalam menghadapi masalah-masalah yang ada dalam penugasannya. Serta dapat mendorong perilaku untuk menyimpang dari ketentuan etika pada umumnya.
  • Kode Etik Profesi Polri hakekatnya adalah pedoman moral, sebagai penjabaran, operasionalisasi, dan kristalisasi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai pedoman hidup dan pedoman karya Polri ke dalam bentuk pedoman moral dan landasan tingkah laku nyata, tepat normative, praktis, dan mudah dilaksanakan bagi kehadiran Polri di tengah-tengah masyarakat. Karena itu harus dipahami, ditaati, dipedomani, dipegang teguh, dijunjung tinggi, dijadikan landasan dan komitmen diri dalam bertingkah laku, diinternalisasikan dalam diri pribadi setiap anggota Polri, serta diaktualisasikan dalam perilaku sehari-hari baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan.
  • b. Kaitan Materi Kuliah dengan Tugas Polri Profesionalisme adalah kinerja atau kerja yang ditunjukan oleh seseorang, yaitu seorang profesional, melalui tindakan-tindakan dan sikap-sikapnya, dimana dia tahu apa yang dikerjakannya dan menghasilkan pekerjaan yang bermutu yang memuaskan bagi yang dilayani atau yang memesan pekerjaannya. Seorang profesional memperoleh gaji atau uang yang cukup dari profesi yang ditekuninya (lihat : Faris 2005:784-787).
  • Pengertian profesionalisme mencakup unsur-unsur : (1) ciri-ciri seorang profesional, yaitu : seorang yang ahli dalam bidangnya, yang tugas utamanya secara langsung atau tidak langsung adalah melayani umum atau kepentingan komuniti, mempunyai kemampuan pengendalian diri yang tinggi, dan yang dalam tindakan-tindakannya berpedoman pada kode etik. Kode etik yang dipunyainya adalah sebuah pernyataan mengenai nilai-nilai yanag dijunjung tinggi, yang menjamin bahwa pelayanannya bermutu tinggi, yang menjamin kompetensinya dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya dia tidak mengambil keuntungan pribadi dari yang dikerjakannya karena penekanan tugas-tugasnya adalah pada pelayanan dan jaminan mutu akan pelayanannya dan karena dia telah dibayar atau digaji oleh organisasinya.
  • Sebuah kode etik kepolisian biasanya dibuat secara sederhana, dengan kata-kata dan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapapun, sebagai pedoman atau larangan bertindak dalam kapasitas anggota kepolisian sebagai petugas kepolisian, sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh para petugas kepolisian pada jenjang manapun. Kode etik kepolisian diberlakukan bagi para petugas atau anggota-anggota oranisasi tersebut, yang isinya adalah aturan-aturan atauketentuan-ketentuan mengenai nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman kerja dan bertindak bagi para petugas atau anggota organisasi, dan yang penekanan isisnya adalah bahwa pada waktu dan padasaat melakukan tugs-tugas pekerjaannya si petugas atau anggota kepolisian tersebut tidak melakukannya untuk kepentingan atau keuntungan bagi dirinya sendiri, tetapi mengutamakan pada kepentingan pelayanan dan bagi kepentingan yang dilayani.
  • Tujuan dari dibuat dan diberlakukannya kode etik kepolisian bagi anggota-anggota kepolisian adalah agar anggota-anggota kepolisian tersebut tidak menggunakan kebudayaan dan nilai-nilai budayanya masing-masing sebagai acuan bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas kepolisian.
  • Masalah dan penerapan kode etik kepolisian, di negara-negara berkembang atau yang baru terbebas dari rezim yang otoriter, kode etik kepolisian biasnya bercorak militeristik atau dibuat dalam susunan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sulit dipahami. Coraknya yang militeristik tersebut merupakan sisa-sisa kebudayaan militer yang masih ada dalam kebudayaan polisi, karena dalam rezim yang otoriter atau militeristik tersebut, polisi menjadi bagian dari dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari organisasi kemiliteran yang dibuat oleh pemerintah, sehingga para petugas kepolisian secara sadar ataupun tidak sadar mengabaikan penggunaan kode etik kepolisian yang ada dan yang seharusnya berlaku sebagai pedoman dalam tugas-tugas pemolisiannya. Disamping itu para administrator atau pejabat dari organisasi kepolisian yang bersangkutan juga tidak melakukan kegiatan pemberlakuan secara efektif dari kode etik yang dibuat oleh organisasi kepolisiannya terutama dalam pendidikan dan latihan kedinasan bagi personilnya.
  • II. Refrensi Tambahan Debbie J. Goodman (1998) yang menyadari bahwa menerapkan kode etik kepolisian kepada petugas kepolisian adalah pekerjaan yang tidak mudah, menyarankan agar jumlah jam pelajaran dan muatan pelajaran mengenai kode etik kepolisian dalam pendidikan dan pelatihan kepolisian ditambah dan harus diajarkan oleh pengajar yang dikenal sebagai polisi atau pengajar profesional. Selanjutnya Goodman juga menyarankan agar pola-pola persahabatan dan solideritas sosial yang ada dalam partner kerja petugas kepolisian dan dalam satuan-satuan angkatan atau kelas di pendidikan dan latihan kepolisian dapat dimanfaatkan untuk digunkan dalam saling mengontrol apakah teman mereka itu bertindak tidak profesional dengan melanggar ketentuan yang ada dalam kode etik kepolisian atau tidak.
  • Untuk itu, Goodman dalam bukunya (1998) membuat lima puluh pertanyaan mengenai apakah sesuatu perbuatan itu melanggar etika atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh petugas kepolisian. Jawaban-jawabannya ada dibagian belakang dari buku tersebut. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Goodman antara lain, adalah mengenai etis atau tidaknya menerima tawran makan dan minum pada waktu bertugas, makan dan minum gratis dalam keadaan sedang bertugas di sebuah restoran,menerima hadiah uang atau barang berharga dari warga yang merasa berterimakasih, berbohong sebagai petugas kepolisian, perbuatan asusila, kekerasan dan kebrutalan polisi dan sebagainya. Kebudayaan polisi merupakan sebuah organisasi atau pranata dalam dan bagi kehidupan polisi sebagai organisasi atau pranata pemerintah. Karena kebudayaan polisi juga adalah pedoman bagi kehidupan organisasi polisi, yaitu berkenaan denganfungsinya dalam masy rakat yang mencakup adminstrasi dan manajemen pemolisian yang penekanannya pada pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum.
  • 3. Tanggapan/ Pendalaman. Mengingat metoda satu arah kurang menjamin pemahaman dan penghayatan Kode Etik Profesi, seyogyanya metoda dua arah dan tiga arah lebih banyak digunakan, dengan tahapan waktu serta target yang jelas dari masing-masing tahap. Sarana kontrol masyarakat agar dibuka lebar, tidak terbatas pada kotak pos, dialog interaktif di media elektronik, dan kritik tertulis; tapi perlu dibentuk wadah/lembaga yang memungkinkan masyarakat aktif langsung dalam memberikan kontrol/kritik, seperti : Komisi Kode Etik Profesi; Police Watch dan lembaga lain yang dibentuk masyarakat. Penerapan reward and punishment agar benar-benar konsisten dan adil dalam pengembangan karier, agar menjadi sumber motivasi bagi anggota. Perlu transparansi reward and punishment kepada masyarakat sebagai stake holder, guna menumbuhkan kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun personil Polri yang lebih baik. Dalam pembahasan tentang Kode Etik / Etika Profesi Polri agar juga mau melihat secara konseptual dan teoritikal dalam mengidentifikasi masalah sehingga dapat mencari korelasi/hubungan sebab akibat secara sistemik holistik dalam mengaudit suatu masalah dan tidak ada berdasarkan pengamatan normatif sehingga apa dan bagaimana keputusan yang ada dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan ilmiah.

JUWENI

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar: