22 Februari, 2009

Resume Komnas Ham

JUWENI
MATA PELAJARAN : KOMNAS HAM RESUME I. Intisari Resume.
  • a. Pengertian Hak Asasi Manusia merupakan tata nilai yang digunakan sebagi tolak ukur yang menghargai dan menghormati hakekat dan keberadaan manusia (semua orang) yang mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Disisi lain Hak asasi manusia merupakan instrumental untuk membatasi kekuasaan agar para penguasa dalam menjalankan kekuasaan tidak sewenang-wenang dengan lahirnya HAM untuk melawan absolutisme yang dilakukan oleh para penguasa.
  • Dalam piagam PBB kometmen bangsa-bangsa anggota PBB mengakui dan mempercayai akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk mengalahkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih bagus. Komitmen Negara Republik Indonesia juga anggota PBB HAM di Indonesia adalah sejalan dengan Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana di tentukan dalam UUD’45 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia. Didalam mukadimah antara lain dapat digasris bawahi yaitu : semua orang dilahirkan merdeka, semua orang memiliki martabat dan hak-hak yang sama, tidak dapat dicabut dari semua anggota keluaraga manusia, semua orang dikaruniai akal dan hati nurani dan semua orang hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
  • Norma-norma penting yang menunjukan adanya pembatasan penggunaam HAM dalam Article 29 Universal Declaration Of Human Rights, juga sebagi prinsip pelaksanaan HAM di Indonesia. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 28 j amandemen UUD’45 yaitu :setiap orang wajib mehormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara., dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tututan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, niai-nila agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
  • b. Kaitan Materi Kuliah dengan Tugas Polri.
  • Bahwa UUD 1945 secara eksplisit memposisikan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai alat negara untuk melindung, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum, dan tertera UU No. 2/2002 tentang kepolisian Negra Republik Indonesia pada pasal 13 sampai pasal 19 menunjukkan bahwa Polri adalah institusi yang memiliki peran sangat signifikan dan strategis dalam rangka menjamin perlindungan Hak asasi Manusia di Indonesia. Dengan materi kuliah yang disampaikan ini dapat sebagi pedoman dimana para pasis natinya bertugas di daerah.
  • Itulah yang melatarbelakangi adanya mata kuliah Komnas Ham terkait tugas kepolisian dan para Pasis yang sedang melaksanakan pendidikan Sespim yang akan dipersiapkan untuk menjadi pimpinan tingkat menengah di Polri.
  • Perkembang HAM di negara-negara lain di Negara Inggris pada raja Jhon Lacklnd (1199-1216) yaing isinya melarang raja sewenang-wenang menahan, menghukum dan merampas harta warga, di negara Amerika daerah jajahan Inggris yang depengaruhi oleh John Locke tentang ; Hak untuk hidup, Hak atas Kebebasan dan Hak atas hak milik, di Negara Perancis yang melahirkan pernyataan HAM dan Hak Kewarganegaraan. : Hak Kemerdekaan, Hak kesetaraan dan Hak Persaudaraan. II. Refrensi Tambahan
  • Sejarah perkembangan HAM di Indonesia sebelum tahun 1600 Sudah ada upaya menegakkan HAM terkai dengan kehidupan spiritual, kebudayaan, ekonomi dan Politik walau tidak kokoh dan sitematik pada kerajaan sriwijaya dan majapahit yang lahir kitab Negara Kertagama, sutasoma, semboyan Bhineka Tungal Ika. Pre kemerdekaan dengan perlawanan penjajah yang lahir Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Pasca Kemerdekaan Pada tanggal 17 agustus 1945 dan lahirnya UUD’45, Masa Orde Lama UUDS, konstitusi RIS, pembukaan UUD 1945, pancasila Penoda HAM G 30 S. Masa Orba yang menerapakan Demokrasi Pancasila, Era refomasi pada pasal 28 s/d 28 J UUD’45 amandemen sejak revisi UUD’45 pasal 28 ayat 1 mengatur hak dasar rakya Indonesia yang tidak dapat dicabut: Hak untuk hidup, Hak terbebas dari penyiksaan, kebebasan untuk memberi pendapat dan suara hati, kebebasan dari perbudakan, pengakuan sebagai manusia di hadapan hukum, kebebasan dari penuntutan peraturan2 retroaktif. Dan hak untuk berkumpul. (dalam buku panduan HAM untuk anggota Polri) mei 2006 III. Tanggapan. Agar implementasi HAM dapat dipahami secara benar perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya HAM dalam kehidupan sosial maupun kehidupan individu yang tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari, upaya tersebut harus di upayakan secara terus menerus ke setiap orang sedini mungkin melalu pendidikan HAM baik pendidikan foral maupun non formal.

Resume Manajemen Perubahan

JUWENI
MATA PELAJARAN : MANAJEMEN PERUBAHAN DOSEN : RHENALD KHASALI
RESUME I. Intisari Resume.
  1. Thinking for Change : Cara berpikir untuk Membebaskan belenggu – belenggu untuk meraih keberanian dan keberhasilan dalam pembaharuan ( Change & Recode).Manusia dinilai bukan dari niatnya , melainkan dari hasilnya. Cara berfikir dan carakter bahwa orang berfikir selalu merfleksikan dengan masa lalunya yang ada dalam benak pikirannya kemudian emosinya timbul sehingga merubah pikirannya / perilakunya yang akhirnya membuahkan hasil kinerjanya. Dalam menginginkan sesuatu harus ada sugesti di jalankan . Masalah dalam perubahan
  2. Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
  3. Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. Resistensi Individual Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.
  4. KEBIASAAN . Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan. RASA AMAN kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai. FAKTOR EKONOMI Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur.
  5. TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan. PERSEPSI Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif. Kebiasaan Rasa Aman Faktor Ekonomi Resistensi Individual Ketidakpastian Persepsi
  6. II. Referensi Tambahan. Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
  7. Taktik Mengatasi Penolakan Atas Perubahan Coch dan French Jr. mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan[1] 1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya. 2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan 3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan. 4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka 5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan. 6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan. Pendekatan dalam Manajemen Perubahan Organisasi Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent [2]. Kalau digambarkan modelnya menjadi seperti di bawah ini. III. Tanggapan. Ada 4 (empat) bentuk mashab perubahan : 1) evolusi terjadi dan lebih berbahaya dari revolusi, karena perubahan secara lambat dan tanpa disadari akan lebih sangat berbahaya; 2) Teleology, ilmu yang meneropong masa depan; 3) Dialectic terjadi, suatu konsep dikembangkan kaum kiri (midleion) sifatnya sangat akronim perubahan bernama OCEAN, O=openess to experience, C=conscientiousness, E=extrovertness, A= agreeableness, N= neuroticism. [1] L. Coch dan J.R.P.French, Jr. “Overcoming Resistance to Change”, 1948 [2] Kurt Lewin, Field Theory in Social Science, 1951

Resume Hubungan polri & lintas sektoral

JUWENI
  1. Mata Pelajaran : M.P. HUBUNGAN POLRI DAN LINSEK Dosen : TRIMEDYA PANJAITAN, SH, MH Kelompok Pengajar : RESUME I. Intisari Perkuliahan Bahwa dalam pelaksanaan tugas Pokok Kepolisian perlu adanya kerjasama antar lintas sektoral (TNI, Instansi/Lembaga Negara/ pemerintahan/ swasta / NGO/ segenap elemen masyarakat), guna sinergitas dalam Harkamtibmas, perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat serta penegakan hukum. Bantuan, hubungan dan kerjasama Polri dengan lintas sektoral diatur dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 41 dan pasal 42 bahwa hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki. Disamping itu hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas. Adapun hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas oprasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.
  2. Hubungan kerjasama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pihak lain dimaksudkan untuk kelancaran tugas kepolisian secara fungsional dengan tidak mencampuri urusan instansi masing-masing. Khusus hubungan kerja sama dengan Pemerintah Daerah adalah memberikan pertimbangan aspek keamanan umum kepada Pemerintah Daerah dan instansi terkait serta kegiatan masyarakat, dalam rangka menegakan kewibawaan penyelenggaraan pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam pelaksanaan Tupoksi Polri Paradigma baru, Polri lebih mengedepankan pemberdayaan potensi keamanan dengan melakukan pendekatan kinerja secara proaktif yaitu mendekatkan Polisi dengan masyarakat, agar masyarakat terdorong kerja sama dengan Polri dalam program kegiatan pemberdayaan masyarakat. Khusus dalam peningkatan kinerja Gakkum, Polri bukan hanya alat penegak hukum, tapi juga berfungsi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Peningkatan kinerja gakkum lebih mengedepankan membuka forum diskusi dan pertemuan antar penegakan hukum, penyederhanaan sistem gakkum, serta menyusun kosep sistem peradilan pidana terpadu. Tujuan penyelanggaran keamanan dalam rangka mewujudkan kamdagri didukung oleh situasi kondisi terpeliharanya kamtibmas, tertib hukum, gar lindung, ayom, yanmas, dan terbinanya trammas dengan menjujung tinggi H HAM.
  4. Asas Kerma diantaranya ligalitas, kepentingan umum, proposional, kemitraan dan pencegahan dengan strategi preemtif, preventif dan penegakan hukum. Adapun kebijakan harkamtibmas / penegakan hukum perlu adanya pengembangan strategi keamanan, pemeliharaan keamanaan dan ketertiban, pemberdayaan potensi keamanan, kerjasama lintas sektoral, penegakkan hukum, kerjasama”Criminal justice system” dan pembenahan internal.
  5. II. Materi Tambahan Dalam rangka melaksanakan perannya menjaga keamanan guna mewujudkan Kamdagri, diperlukan suatu konsep penyelenggaraan keamanan yang dapat dijadikan sebagai sandaran oleh seluruh komponen bangsa. Konsep penyelenggaraan keamanan nasional haruslah memperoleh legitimasi secara formal, agar semua komponen bangsa ikut bertanggung jawab dalam rangka penyelenggaraan keamanan.
  6. Membangun sinergi penyelenggaraan keamanan, melalui cara : membangun kemitraan dalam meningkatkan peran pengamanan Polsus, Polisi Internal, Polmas, dan Pokmas yang patuh hukum, serta membangun kemitraan dengan kelompok keamanan komunitas untuk keamanan insani setiap individu, keamanan internal, keamanan umum masyarakat dan institusi keamanan negara lainya. III. Tanggapan.
  7. Hal yang penting bagi Polri dalam melakukan koordinasi/ kerjasama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas, sehingga kompleksitas permasalahan Kamtibmas dapat dipecahkan secara bersama tanpa menonjolkan arogansi antar institusi.
  8. Memanfaatkan jaringan kerja sama dengan semua pihak untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia polri terhadap pengembangan community policing.

Resume Etika Kepemimpinan

JUWENI

MATA PELAJARAN : ETIKA KEPEMIMPINAN DOSEN : DERENBANG KAPOLRI I. Intisari Kuliah

  • a. Pengertian Etika adalah cabang dari ilmu filsafat, Etika sebagai ilmu menjadi sangat luas jangkauannya, karena setiap segi kehidupan manusia selalu memuat kandungan etika, dan kandungan etika itu selalu terjalin antar satu dengan yang lain secara erat karena memiliki dasar-dasar pemikiran yang pada hakekatnya adalah serupa.
  • Etika pada dasarnya menganalisa tingkah laku, moral, adat kebiasaan, cara berpikir yang akan mendorong manusia untuk bersikap dan bertindak secara etis, inilah yang menjadi alasan bagi jajaran Kepolisian untuk mengambil kebijaksanaan penggelaran kebijakan berupa pelaksanaan etika Kepolisian yang diterapkan secara melekat kepada seluruh personil Polri tanpa perkecualian.
  • Etika Kepolisian adalah pedoman perilaku Kepolisian dalam melaksanakan tugas kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari yang berisi hak, kewajiban dan harapan, apa yang harus dilakukan karena kewajiban, apa yang boleh dilakukan karena mendatangkan manfaat baik bagi Kepolisian dan apa yang tidak boleh dilakukan karena sifatnya tercela. Berkaitan dengan perubahan Polri baik instrumental, struktural dan kultural bila terjadi penyimpangan maka sikap masyarakat langsung bereaksi sebagai salah satu bentuk reaksi masyarakat adalah meminta agar ditangani secara profesional sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain etika Kepolisian adalah norma atau ukuran baik dan buruk bagi aparat penegak hukum yang bertanggung jawab pada ketertiban umum keselamatan dan keamanan masyarakat.
  • Etika Kepolisian merupakan dasar atau pedoman yang akan menopang bentuk perilaku yang ideal yang kokoh terpatri dalam diri Polri dalam mengabdi tanpa memahami dasar itu Polisi tidak mempunyai pendirian dalam menghadapi masalah-masalah yang ada dalam penugasannya. Serta dapat mendorong perilaku untuk menyimpang dari ketentuan etika pada umumnya.
  • Kode Etik Profesi Polri hakekatnya adalah pedoman moral, sebagai penjabaran, operasionalisasi, dan kristalisasi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai pedoman hidup dan pedoman karya Polri ke dalam bentuk pedoman moral dan landasan tingkah laku nyata, tepat normative, praktis, dan mudah dilaksanakan bagi kehadiran Polri di tengah-tengah masyarakat. Karena itu harus dipahami, ditaati, dipedomani, dipegang teguh, dijunjung tinggi, dijadikan landasan dan komitmen diri dalam bertingkah laku, diinternalisasikan dalam diri pribadi setiap anggota Polri, serta diaktualisasikan dalam perilaku sehari-hari baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan.
  • b. Kaitan Materi Kuliah dengan Tugas Polri Profesionalisme adalah kinerja atau kerja yang ditunjukan oleh seseorang, yaitu seorang profesional, melalui tindakan-tindakan dan sikap-sikapnya, dimana dia tahu apa yang dikerjakannya dan menghasilkan pekerjaan yang bermutu yang memuaskan bagi yang dilayani atau yang memesan pekerjaannya. Seorang profesional memperoleh gaji atau uang yang cukup dari profesi yang ditekuninya (lihat : Faris 2005:784-787).
  • Pengertian profesionalisme mencakup unsur-unsur : (1) ciri-ciri seorang profesional, yaitu : seorang yang ahli dalam bidangnya, yang tugas utamanya secara langsung atau tidak langsung adalah melayani umum atau kepentingan komuniti, mempunyai kemampuan pengendalian diri yang tinggi, dan yang dalam tindakan-tindakannya berpedoman pada kode etik. Kode etik yang dipunyainya adalah sebuah pernyataan mengenai nilai-nilai yanag dijunjung tinggi, yang menjamin bahwa pelayanannya bermutu tinggi, yang menjamin kompetensinya dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya dia tidak mengambil keuntungan pribadi dari yang dikerjakannya karena penekanan tugas-tugasnya adalah pada pelayanan dan jaminan mutu akan pelayanannya dan karena dia telah dibayar atau digaji oleh organisasinya.
  • Sebuah kode etik kepolisian biasanya dibuat secara sederhana, dengan kata-kata dan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapapun, sebagai pedoman atau larangan bertindak dalam kapasitas anggota kepolisian sebagai petugas kepolisian, sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh para petugas kepolisian pada jenjang manapun. Kode etik kepolisian diberlakukan bagi para petugas atau anggota-anggota oranisasi tersebut, yang isinya adalah aturan-aturan atauketentuan-ketentuan mengenai nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman kerja dan bertindak bagi para petugas atau anggota organisasi, dan yang penekanan isisnya adalah bahwa pada waktu dan padasaat melakukan tugs-tugas pekerjaannya si petugas atau anggota kepolisian tersebut tidak melakukannya untuk kepentingan atau keuntungan bagi dirinya sendiri, tetapi mengutamakan pada kepentingan pelayanan dan bagi kepentingan yang dilayani.
  • Tujuan dari dibuat dan diberlakukannya kode etik kepolisian bagi anggota-anggota kepolisian adalah agar anggota-anggota kepolisian tersebut tidak menggunakan kebudayaan dan nilai-nilai budayanya masing-masing sebagai acuan bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas kepolisian.
  • Masalah dan penerapan kode etik kepolisian, di negara-negara berkembang atau yang baru terbebas dari rezim yang otoriter, kode etik kepolisian biasnya bercorak militeristik atau dibuat dalam susunan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sulit dipahami. Coraknya yang militeristik tersebut merupakan sisa-sisa kebudayaan militer yang masih ada dalam kebudayaan polisi, karena dalam rezim yang otoriter atau militeristik tersebut, polisi menjadi bagian dari dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari organisasi kemiliteran yang dibuat oleh pemerintah, sehingga para petugas kepolisian secara sadar ataupun tidak sadar mengabaikan penggunaan kode etik kepolisian yang ada dan yang seharusnya berlaku sebagai pedoman dalam tugas-tugas pemolisiannya. Disamping itu para administrator atau pejabat dari organisasi kepolisian yang bersangkutan juga tidak melakukan kegiatan pemberlakuan secara efektif dari kode etik yang dibuat oleh organisasi kepolisiannya terutama dalam pendidikan dan latihan kedinasan bagi personilnya.
  • II. Refrensi Tambahan Debbie J. Goodman (1998) yang menyadari bahwa menerapkan kode etik kepolisian kepada petugas kepolisian adalah pekerjaan yang tidak mudah, menyarankan agar jumlah jam pelajaran dan muatan pelajaran mengenai kode etik kepolisian dalam pendidikan dan pelatihan kepolisian ditambah dan harus diajarkan oleh pengajar yang dikenal sebagai polisi atau pengajar profesional. Selanjutnya Goodman juga menyarankan agar pola-pola persahabatan dan solideritas sosial yang ada dalam partner kerja petugas kepolisian dan dalam satuan-satuan angkatan atau kelas di pendidikan dan latihan kepolisian dapat dimanfaatkan untuk digunkan dalam saling mengontrol apakah teman mereka itu bertindak tidak profesional dengan melanggar ketentuan yang ada dalam kode etik kepolisian atau tidak.
  • Untuk itu, Goodman dalam bukunya (1998) membuat lima puluh pertanyaan mengenai apakah sesuatu perbuatan itu melanggar etika atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh petugas kepolisian. Jawaban-jawabannya ada dibagian belakang dari buku tersebut. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Goodman antara lain, adalah mengenai etis atau tidaknya menerima tawran makan dan minum pada waktu bertugas, makan dan minum gratis dalam keadaan sedang bertugas di sebuah restoran,menerima hadiah uang atau barang berharga dari warga yang merasa berterimakasih, berbohong sebagai petugas kepolisian, perbuatan asusila, kekerasan dan kebrutalan polisi dan sebagainya. Kebudayaan polisi merupakan sebuah organisasi atau pranata dalam dan bagi kehidupan polisi sebagai organisasi atau pranata pemerintah. Karena kebudayaan polisi juga adalah pedoman bagi kehidupan organisasi polisi, yaitu berkenaan denganfungsinya dalam masy rakat yang mencakup adminstrasi dan manajemen pemolisian yang penekanannya pada pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum.
  • 3. Tanggapan/ Pendalaman. Mengingat metoda satu arah kurang menjamin pemahaman dan penghayatan Kode Etik Profesi, seyogyanya metoda dua arah dan tiga arah lebih banyak digunakan, dengan tahapan waktu serta target yang jelas dari masing-masing tahap. Sarana kontrol masyarakat agar dibuka lebar, tidak terbatas pada kotak pos, dialog interaktif di media elektronik, dan kritik tertulis; tapi perlu dibentuk wadah/lembaga yang memungkinkan masyarakat aktif langsung dalam memberikan kontrol/kritik, seperti : Komisi Kode Etik Profesi; Police Watch dan lembaga lain yang dibentuk masyarakat. Penerapan reward and punishment agar benar-benar konsisten dan adil dalam pengembangan karier, agar menjadi sumber motivasi bagi anggota. Perlu transparansi reward and punishment kepada masyarakat sebagai stake holder, guna menumbuhkan kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun personil Polri yang lebih baik. Dalam pembahasan tentang Kode Etik / Etika Profesi Polri agar juga mau melihat secara konseptual dan teoritikal dalam mengidentifikasi masalah sehingga dapat mencari korelasi/hubungan sebab akibat secara sistemik holistik dalam mengaudit suatu masalah dan tidak ada berdasarkan pengamatan normatif sehingga apa dan bagaimana keputusan yang ada dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan ilmiah.