15 Februari, 2009

RESUME KEPEMIMPINAN VISIONER

JUWENI
MATA PELAJARAN : KEPEMIMPINAN VISIONER DOSEN : WAKA POLRI I.
Intisari Resume.
  • a. Pengertian Kepemimpinan integratif yang visioner seseorang yang dalam memimpin mempunyai       ciri-ciri : Berorientasi pada visi yang diterjemahkan dalam tindakan nyata, Keinginan untuk adanya perubahan menggugat kemapanan dan keseimbangan dalam sistem, Memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi.dan Piawai beradaptasi memperlakukan sumber daya organisasi. Dengan ciri tersebut akan memperbesar kemungkinan berhasil bagi pimpinan dan organisasi terebut.
  • b. Kaitan Materi Kuliah dengan Tugas Polri Dimana Polri adalah suatu organisasi yang terstruktur yang setiap bagian/ strata adanya suatu pimpinan yang akan memanage dan bertanggung jawab akan pelaksanaan tugasnya, sehingga organisasi kepolisian akan dapat dilaksanakan tugasnya dengan baik, lain halnya bila suatu organisasi tidak ada pimpinannya, bila suatu organisasi tidak ada pimpinannya maka tidak ada arah dan tujuan dalam organisasi tersebut.
  • Itulah yang melatarbelakangi adanya mata kuliah kepemimpinan dan para Pasis yang sedang melaksanakan pendidikan Sespim yang akan dipersiapkan untuk menjadi pimpinan tingkat menengah di Polri, sehingga mempunyai konsep dan teori yang benar sebagai dasar implementasi didalam pelaksanaan tugas dengan profesional yaitu ; mahir, terpuji dan patuh hukum.
  • Perbandingan kuliah dengan tugas-tugas Kepolisian di negara lain, yang Pasis ketahui dengan Kepolisian Jepang, Perancis dan Singapura. Saat Pasis studi banding ke negara tersebut antara lain : Modul agar diberikan kepada Pasis 2-3 hari sebelum perkuliahan dilaksanakan, sehingga Pasis memahami dan lebih dapat dimengerti secara umum materi tersebut sehingga interaktif 2 arah dapat dilaksanakan dengan aktif.
  • Hubungan materi kuliah dengan tema pendidikan adalah dengan diajarkan tentang materi kepemimpinan tersebut Pasis dapat mempelajari, memahami akan artinya kepemimpinan dengan berbagai konsep dan teori yang nantinya bisa menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas khususnya dalam menghadapi Pemilu 2009.
II. Refrensi Tambahan Pengertian kepemimpina pada jaman modern ini memiliki pendalaman dan aplikasi yang cukup rumut serta tidak mudah. Beberapa teori dan konsep kepemimpinan makna dan hakekat kepemimpinan antara lain:
1. Paul Hersey dan kennet H. Blancchard (1982) : pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
 2. Martin J. Gannon (1982) : pemimpin adalah seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahanya.
3. R. D. Agarwal (19982) : kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk menggerakan kemampuan mereka, kemauan mereka dalam usaha untuk mencapai tujuan pemimpin.
4. George R. Terry : kepemimpinan adalah proses mempengaruhi individu atau kelompok untuk menentukan tujuan dan sekaligus mencapai tujuan tersebut.
 5. Kartini kartono (1985) : pemimpin adalah pribadi yang mempunyai kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran tertentu.
Ada beberapa teori Kepemimpinan : a. Teori Sifat (Trait Theory) Analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Pertanyaan penting yang dicoba dijawab oleh pendekatan teoritis, ialah apakah sifat-sifat yang membuat seseorang itu disebut sebagai pemimpin. Teori “great man” arti lebih realistis terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi. Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan keberhasilan manajer, maka Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi : 1) Kecerdasan. Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian yang sangat menarik dari penelitian tersebut ialah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya. 2) Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial. Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, karena mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. 3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik. 4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
b. Teori Kelompok Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang positif diantara pemimpin dan pengikut-pengikutnya.
c. Teori situasional dan Model Kontijensi Dua pengukuran yang digunakan saling bergantian dan ada hubungan dengan gaya kepemimpinan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut : 1) Hubungan kemanusiaan atau gaya yang lunak (lenient) dihubungkan pemimpin yang tidak melihat perbedaan yang besar diantara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit disukai (ASO) atau memberikan suatu gambaran yang relatif menyenangkan kepada teman kerja yang peling sedikit di senangi (LPC). 2) Gaya yang berorientasi tugas atau “hard nosed” dihubungkan dengan pemimpin yang melihat suatu perbedaan besar diantara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit disenangi (ASO) dan memberikan suatu gambaran yang paling tidak menyenangkan pada teman kerja yang paling sedikit diskusi (LPC).
d. Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan. Adapun situasi yang menyenangkan itu diterangkan oleh Fiedler dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut : 1) Hubungan pemimpin anggota. 2) Derajat dari struktur tugas. 3) Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.
d. Teori Jalan Kecil-Tujuan (Path-Goal Theory) Teori path goal versi house, memasukan empat tipe atas gaya utama kepemimpinan yang dijelaskan sebagai berikut : 1) Kepemimpinan direktif. Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis dari Lippitt dan White. Bawahan tahu dengan pasti apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan. 2) Kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership). Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya. 3) Kepemimpinan partisipatif. Pada gaya kepemimpinan ini pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya. 4) Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi. Menurut teori Path Goal ini macam-macam gaya kepemimpinan tersebut dapat terjadi dan digunakan oleh pemimpin yanag sama dalam situasi yang berbeda. III. Tanggapan Dalam membangun peningkatan kemampuan individu dalam menerapkan model kepemimpinan perlu diawali dengan penajaman rumusan strategi yang akan dipedomani dan rumusan tersebut dapat berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan masyarakat yang berkembang. Mengingat tuntutan masyarakat yang paling dominan adalah persoalan perilaku / respon personil, maka perlu pembenahan dan peningkatan kemampuan individu dalam menerapkan model kepemimpinan yang benar sesuai paradigma Polri Sipil. Penegakan disiplin dan kode etik yang konsisten serta pelaksanaan reward dan funismen yang terukur akan meningkatkan kinerja personil.

RESUME PARADIGMA (KERANGKA TEORI)

JUWENI
  • MATA PELAJARAN : PARADIGMA (KERANGKA TEORI) I. Intisari Resume. A. Teori sebagai Landasan Hipotesis

Teori adalah seperangkat construct (konsep terbuat), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Dari definisi ini diketahui bahwa teori mengandung tiga hal; Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan; kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan-hubungan antar konsep; dan ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.

Ada satu hal yang perlu dicatat dari pengertian di atas, yaitu bahwa ternyata teori dirumuskan dalam bentuk kalimat proposisi. Proposisi, statement, atau qadhiyyah, adalah kalimat yang diformulasikan dalam bentuk pernyataan logis yang menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Namun tentu saja tidak semua pernyataan logis dan menjelaskan hubungan antar konsep disebut teori, sebab masih ada jenis pernyataan yang memiliki formulasi dan substansi yang sama yang bukan teori. Penentuan suatu proposisi termasuk teori atau bukan terkait erat dengan dasar teoritis dan dukungan empiris.

Kedudukan teori dalam penelitian kuantitatif dapat dilihat dari dua sisi; (1) teori sebagai landasan untuk merumuskan hipotesis; dan (2) teori yang ditemukan oleh peneliti sendiri setelah melakukan verifikasi (pengujian hipotesis). Teori jenis pertama merupakan hasil kerja orang (ahli) lain, sedangkan teori jenis kedua merupakan hasil kerja peneliti sendiri. Teori jenis pertama dipilih sendiri oleh peneliti dari sejumlah teori yang ada atas dasar kesesuaiannya dengan masalah penelitian yang sedang dikerjakannya, kemudian dari teori itu dirumuskan hipotesis. Setelah hipotesis diuji atau diverikasi, peneliti kemudian menghasilkan teori jenis kedua, yaitu teori yang ditemukan oleh peneliti sendiri.

Berdasarkan penegasan ini terdapat jalinan yang erat antara penjelasan teoritis dengan hal-hal empiris. Jalinan antara yang teoritis dan empiris muncul dalam pelbagai macam penjelasan, antara lain dalam bentuk: 1. Penjelasan logis; sebetulnya hanya rengrengan formal, suatu kalkulus; 2. Penjelasan sebab akibat (kausal); sudah merupakan tafsiran mengenai sebuah proses alamiah; timbul pertanyaan mengenai di-determinasi tidaknya segala gejala; ada yang menganggap keterangan ini sebagai kategori mengerti yang mendasar dan berlaku umum; 3. Penjelasan final; menerangkan sebuah proses berdasarkan tujuan yang ingin diraih. Dipergunakan terutama pada ilmu-ilmu kehidupan. Contoh; ‘Mata adalah anggota badan untuk melihat’. 4. Penjelasan fungsional; mencari jawaban lewat pertanyaan mengenai cara kerja. Keterangan fungsional sering menggantikan keterangan final. Misalnya, susunan mata dijabarkan dari fungsinya; 5. Penjelasan historis atau genetis; mengemukakan riwayat terjadinya keterangan. Misalnya, kaki kuda berasal dari jari-jari kaki kuda purba; atau geologi menjelaskan lapisan kerak bumi memakai konstelasi-konstelasi lebih tua. Biasanya dilengkapi dengan keterangan kausal; 6. Penjelasan analog; memakai perbandingan dengan struktur-struktur yang lebih dikenal. Misalnya, mata memakai kamera, proses-proses informasi pada perusahaan memakai sistem syaraf manusia. B. Perumusan Kerangka Teoritis dan Hipotesis

Suatu hipotesis tidak begitu saja dapat dirumuskan, kalaupun sudah ditemukan teori yang menjadi landasan perumusannya. Sebelum suatu hipotesis dirumuskan, perlu dilakukan deduksi logis, yaitu suatu aturan berpikir yang mengikuti kaidah-kaidah Logika (Mantiq). Proses dan kegiatan berpikir tersebut akan menghasilkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi baru, yang disusun menjadi kerangka teoritis penelitian. Jadi, rumusan-rumusan yang dibuat berdasarkan proses berpikir deduktif inilah yang disebut dengan kerangka teoritis. Kemudian dari konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritis itulah dirumuskan hipotesis penelitian.

Kerangka teoritis sangat diperlukan dalam penelitian kuantitatif. Urgensi kerangka teoritis yang paling utama adalah untuk mempermudah perumusan hipotesis. Selain itu, kerangka teoritis juga berguna untuk mempertegas bagaimana jenis hubungan yang terjadi antarvariabel serta berguna pula untuk menggambarkan bagaimana proses pengorganisasian dan analisis data dilakukan. Dengan adanya kerangka teoritis, semakin jelas bagi peneliti tahap-tahap pengolahan dan penganalisisan data, serta semakin jelas penentuan variabel-variabel bebas dan terikat, serta variabel mana dengan variabel mana yang harus dicari hubungannya.

II. Refrensi Tambahan Thomas Khun, dalam bukunya yang berjudul The struktur Of soientific Revolusio mengatakan bahwa dunia mengalami pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-terobosan baru diberbagi bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi juka timbul satu krisis (deadlock) maka akan melahirkan peran baru, globalisasi interdependensi yang terasa sangat kental diantara masyarakat internasional.

Zetterberg (1963), sebagaimana dikutip oleh Wallace, mengemukakan empat kemungkinan suatu proposisi ketika dihubungkan dengan dasar teoritis dan dukungan empiris; 1) invarian teoritis atau hukum; yaitu pernyataan yang memiliki dasar teoritis dan dukungan empiris; 2) hipotesa teoritis; yaitu pernyataan yang memiliki dasar teoritis, tetapi tidak/ belum ada dukungan empiris; 3) generalisasi empiris, yaitu pernyataan yang memiliki dukungan empiris, tetapi tidak memiliki dasar teoritis; dan 4) fantasi atau imaginasi; yaitu pernyataan yang tidak memiliki dasar teoritis dan tidak didukung kenyataan empiris.

III. Tanggapan

Untuk membuktikan atau menemukan sebuah kebenaran dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu kantitatif maupun kualitatif. Kebenaran yang di peroleh dari dua pendekatan tersebut memiliki ukuran dan sifat yang berbeda. Pendekatan kuantitatif lebih menitikberatkan pada frekwensi tinggi sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial sedangkan hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.

RESUME PARADIGMA BARU POLRI

JUWENI

I. Mata Pelajaran : PARADIGMA BARU POLRI Dosen I : Jend. Pol (P) Drs. Chaerudin Ismail Dosen II : POKJAR I Ka Bid Studi : Departemen Strategi Hari/tgl : Senin / 4 Agustus 2008

II. Intisari Perkuliahan Sejalan dengan reformasi nasional, telah lahir berbagi ketetapan MPR yang menjadi ladasan dan arah reformasi. Di antaranya adalah ketetapan MPR No. ; X/ MPR/ 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pemangunaan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, dan menjadi acuan instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri.

Pemisahan struktur organisasi itu lebih lanjut dimaknai sebagai perubahan atau pergeseran paradigma. Polri (shifting paradigma), yang sebenarnya bersumber dari adanya pergeseran paradigma kekuasaan di dalam Negara RI, pergeseran paradigma system pemerintahan nasional, serta pergeseran paradigma penegakan hukum.

Keseluruhan langkah perubahan tersebut dicakup dalam tiga aspek integral yang terdiri dari perubahan aspek struktural (institusi), organisasi, susunan dan kedudukan, perubahan aspek istrumental (filosofi, doktrin kewenangan, kopetensi, kemampuan fungsi, iptek) dan perubahan Aspek kultural (manajemen sumber daya, manajemen operasional dan sistem pengawasan oleh masyarakat) yang akan bermuara pada perubahan tata laku, etika dan budaya pelayanan kepolisian. Kata Paradigma bisa dianggap sebagai model contoh” peta (map), pola (pattern), teori (theory), ataupun kerangka pikiran (frame of thinking). Paradigma tidak bisa dilepaskan dari sikap dan prilaku seseorang. Kalau paradigma diumpamakan sebagai bengkai kacamata, maka sikap adalah lensanya dan prilaku adalah apa yang terkait dengannya.

Paradigma tidak berubah seketika namun iya dapat digeser (shifting paradigma), pergeseran paradigma berlangsung secara sukarela, proaktif atisifatif melalui proses pembelajaran terus menurus dan dapat juga berlangsung secara terpaksa, reaktif yang diawali oleh yang traumatis. Polri menganut paradigma kedekatan dengan masyarakat (warga) dalam upaya bersama merespon masalah-maslah ketertiban, keamanan dan kejahatan secara lokalitas. Sering disebut sebagai paradigma baru, etika kepolisian sipil atau secara populer disebut sebagai “paradigma polisi sipil”. Menyusul pergeseran paradigma polri tadi, UU Kepolisian No. 2 Tahun 1997. Kode Etik Profesi Polri ditetapkan dengan Kep. Kapolri No. Pol. Kep/32/VII/2003 Tanggal 1 Juli 2003, Sebagai konkritisasi Tribatra dan Catur Prasetya yang terlalu bernuansa filosofis.

Rumusan Visi Polri dengan paradigma Polri Sipil adalah alat negara penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dalam negeri yang profesional, dekat dengan masyarakat, bertanggungjawab dan mempunyai komitmen pada masyarakat (warga). Misi Polri dirumuskan sebagi berikut : 1) tegaknya hukum secara adil, bersih dan menghormati HAM, 2) Harkamdagri dengan perhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyrakat, 3) memberikan Lin, Yom, Yanmas 4) Mendoron peningkatan kesadaran dan kepatuhan hukum bagi masyarakat.

II. Tanggapan.

Di simpulkan dari materi paradigma baru Polri bahwa atensi Polri untuk membagun otonomi profesi dan kemandirian memerlukan kesungguhan dukungan dan kearifan dari semua pihak, karena proses perubahan tersebut akan berkait dengan perwujudan budaya Kepolisian Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya bangsa untuk mewujudkan masyarakat madani. Kecendrungan saat ini perpolisian yang berhasil adalah gabungan antara perpolisian reaktif (Reactive Policing) dengan perpolisian yang didasarkan kepada kedekatan dengan masyarakat (community policing).

III. Solusi. Pelaksanaan reformasi Polri tersebut merupakan momentum yang wajib ditindak lanjuti oleh Polri untuk merumuskan kembali kedudukan, tugas dan peran Polri yang sesuai aspirasi masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis dalam tatanan masyarakat madani. Dalam era reformasi, penyelenggarakan negara menganut paradigma baru menuju masyarakat madani yang menjungjung tinggi: supermasi hulum, Moral dan etika, demokaratisasi, Hak asasi manusia, Transparansi dan Keadilan. Paradigma tersebut sekaligus merupakan tantangan dalam upaya peolisian dimasa depan yang harus di akomodasikan secara Struktural, Instrumental dan Kultural.